Langsung ke konten utama

Mengolah Sampah Menjadi Energi

    
    Di seluruh penjuru dunia penanganan sampah menjadi suatu tantangan. Dari tantangan ini munculah berbagai alternatif solusi penanganan sampah.
     Salah satu konsep penanganan yang banyak di adopsi di negara maju adalah waste-to-energy (WTE). Cara pikir ini melihat sampah sebagai sumber daya yang dapat dimanfaatkan untuk pembangkitan listrik dan pemanas air.
       Di Amerika Serikat, sekitar 2.500 MW listrik dihasilkan setiap tahunnya dari 35 juta ton sampah (17% dari total sampah dihasilkan). Lebih dari 80% volume sampah di Denmark dan 60% di Jepang juga diproses di fasilitas WTE. Akibat pola pikir ini pemerintah maupun masyarakat mau mengangani sampah secara maksimal.
      Sebagai salah satu proyek perkuliahan, saya berkesempatan untuk bekerja bersama teman yang berasal dari Ghana dan Mexico menggunakan simulasi komputer untuk membandingkan kinerja dua alternatif WTE yaitu: insinerator sampah, dan gas landfill untuk pembangkit listrik.
Pada kesempatan ini, penulis mencoba menggunakan simulasi serupa dengan kondisi dari Bandung (Dinas Kebersihan Kabupaten Bandung, 2005).

Teknologi Insinerasi Sampah
     Sistem insinerasi sampah biasanya terdiri dari fasilitas penerimaan, tungku pembakaran, dan perangkat pengendali emisi. Untuk menghasilkan listrik, panas yang dihasilkan oleh pembakaran sampah di tungku dimanfaatkan untuk mendidihkan air menjadi uap yang lalu menggerakkan turbin dan menghasilkan daya pada generator listrik.
      Cara kerja ini mirip dengan sistem thermal biasa (PLTU) hanya saja sumber panas diganti dari pembakaran bahan bakar fosil menjadi dari pembakaran sampah. Dengan kapasitas penerimaan 740 ton sampah per hari atau sepertiga dari sampah yang dihasilkan di Kabupaten Bandung, sebuah PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah) dapat menghasilkan listrik sebesar 168.977 MWh/tahun dengan kapasitas daya 21 MW. Jumlah ini sama dengan kebutuhan rata-rata 57 ribu rumah tangga per tahun.
       Teknologi ini pun mampu mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 165.404 ton ekuivalen CO2 yang sama dengan emisi dari penggunaan 30.294 mobil bila dibandingkan energi dari PLTU batu bara. Pembangunan diestimasi membutuhkan lahan seluas 14 hektar, dengan biaya awal sekitar Rp332 miliar dan biaya operasional tahunan Rp74 miliar. Bila listrik yang dihasilkan dijual ke PLN dengan tarif Rp 787,20 per kWh (diadaptasi dari nilai tarif pembelian listrik oleh PLN dengan PLTU batu bara yang sedang dibangun oleh PT Bukit Asam Tbk.) maka setelah tahun ke-4 pembangunan akan balik modal dan memiliki IRR (Internal Rate of Return) sebesar 31%. Hal ini menunjukkan manfaat yang sangat besar pula dari segi ekonomi.

Landfill Gas
      Gas hasil dekomposisi sampah biasanya terdiri dari 50% metana dan 50% karbon dioksida. Gas metana tersebut sama dengan gas alam yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar.
Agar gas tersebut dapat dikumpulkan dan digunakan, diperlukan lahan penimbunan yang disebut dengan engineered sanitary landfill. Jadi bukan dengan sistem penimbunan terbuka sebagaimana praktek sekarang ini di Indonesia.
       Pada bagian teratas terdapat lapisan tanah penutup yang menjaga proses anaerobik dan mencegah masuknya air hujan yang bisa menciptakan air lindi (air yang bersifat asam dan mengandung zat pencemar dari sampah). Konstruksi dilengkapi lapisan liner sehingga air lindi tidak merembes dan mencemari air tanah. Pengumpulan dilakukan dengan sumur vertikal yang dihubungkan dengan pipa yang dalamnya hampa. Gas digunakan sebagai bahan bakar mesin genset untuk menghasilkan listrik. Namun sebelumnya, gas perlu dikeringkan dan dibersihkan dari partikel agar mesin tidak cepat rusak.
Lahan yang diperlukan seluas 45 hektar. Listrik yang mampu dihasilkan sebesar 48.000 MWh dalam setahun dengan kapasitas daya 6 MW. Terlihat bahwa alternatif ini membutuhkan lahan tiga kali lebih luas dan hanya menghasilkan seperempat jumlah listrik dari insinerasi sampah.
Keunggulan landfill berada di faktor emisi dan ekonomi. Dibandingkan dengan PLTU batubara, untuk sejumlah listrik yang sama, emisinya lebih rendah 358.477,5 ton CO2 atau sama dengan mengurangi penggunaan 65.655 mobil.
      Jumlah ini jauh lebih besar daripada alternatif insinerasi. Kemudian biaya pembangunan hanyalah Rp143 miliar atau kurang setengah dari biaya insinerasi dan biaya operasional juga lebih murah yaitu Rp25 miliar. Lama periode balik modal juga 4 tahun, dengan nilai IRR 28.6%.

Realisasi Penerapan
     Alternatif gas landfill yang cocok bagi wilayah yang memiliki keterbatasan dana – situasi tipikal negara-negara berkembang.
    Selain itu, bila pemerintah berencana menerapkan alternatif ini maka tidak akan ada hambatan yang timbul dari kecemasan dari masyarakat akan polusi udara. Realisasi pembangunan insinerator sampah selalu diikuti protes dari masyarakat terkait kekhawatiran akan zat berbahaya seperti Dioxin dan Furan. Hal inilah yang menghambat pembangunan PLTSa Gedebage (Bandung) yang padahal sudah direncakan sejak 2008. 

Peningkatan Kualitas Hidup dan Martabat Masyarakat
   Dengan memandang sampah sebagai sumber daya (energi), secara alamiah kepedulian dan perhatian khusus terkait penanganan sampah akan muncul dari pemerintah dan masyarakat.
Pertama-tama akan ada penciptaan lapangan pekerjaan yang diikuti oleh peningkatan derajat profesi pengelolaan sampah. Pengumpulan sampah dan segregasi sampah akan bisa dilakukan secara maksimal.
    Tidak ada lagi sampah yang berserakan, membuat kota lebih indah dan kehidupan lebih sehat. Sampah ditanggulangi secara tuntas sehingga tidak ada lagi penimbunan terbuka yang mengancam warga bagaikan bom waktu. Dan yang terpenting pula, berkurangnya kerusakan lingkungan.
Penerapan teknologi akan dikembalikan pada cara pandang kita terhadap masalah. Bila tidak ada perubahan dalam sikap dan cara pandang kita, tentunya peningkatan kualitas hidup dan martabat tidak bisa terjadi. Untuk itu bagaimana, apakah kita sudah berani untuk memandang sampah sebagai sumber daya?

sumber :hijauku.com

Komentar